Pentingnya menjaga mood dosen ketimbang menjaga nilai mata kuliah
Secara etimologis mahasiswa terdiri dari 2 kata yaitu maha dan siswa, maha yang berarti tinggi sedangkan siswa berarti murid atau pelajaran, sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah tingkatan tertinggi seorang murid atau pelajar. Kegiatan diskusi, adu argumen, brainstorming sudah menjadi kudapan sehari-hari kalangan priyayi ini. Namun apa jadinya ketika beberapa hal tadi harus ditanggalkan demi menjaga marwah (baca: mood) para dosen yang punya kuasa absolut terhadap nasib mahasiswa yang diampunya selama 6 bulan ke depan (dengan catatan tidak ketemu di mata kuliah yang lain di semester berikutnya). Sebut saja Ahmad, mahasiswa psikologi di salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang yang pada semester 6 rela dibatalkan konversi SKS nya selama 1 semester gara-gara hal yang sebenarnya tidak akademis amat melainkan faktor mood si dosen yang cenderung labil untuk taraf manusia biasa apalagi psikolog senior.
Memang si Ahmad ini tergolong cukup rewel diantara teman seangkatannya bahkan menolak memberi emot 🙏 setiap kali chat ke dosen maupun grup kuliah dengan alasan tidak mau turut serta melestarikan mental feodal di lingkungan akademik. Terakhir diketahui juga dia sempat debat sengit dengan dosen PA (pembimbing akademik) terkait menanyakan alasan kampus meniadakan kuliah secara offline padahal pandemi sudah selesai. Debat itu berujung pada pemberian “kuliah” pengantar logika kepada si dosen karena dosen berulang kali mbulet jawabannya dan selalu menyerang pribadi si Ahmad hingga jadi bahan olok-olok mahasiswa selama seminggu full. Belum kelar masalah tadi, Ahmad pun bersitegang dengan dosen lain karena si doi menolak kuliah online namun menggantinya dengan offline tapi di kampus Jakarta yang notabene sekitar 2 jam perjalanan dari rumah si Ahmad atau 1 jam 55 menit lebih lama ketimbang dia kuliah offline di kampus Tangerang yang ironinya tidak pernah dia lakukan dari semester awal hingga 6 ini karena pandemi. Alasan dosennya pun klise “saya hanya mau mengajarkan mata kuliah ini secara offline agar para mahasiswa lebih paham”. Ahmad pun mencoba banding ke tingkat lebih atas yakni kaprodi, namun bukan solusi yang didapat melainkan suatu wejangan khas boomer, beliau menjawab “ini kamu saja yang mengeluh, padahal lainnya lebih jauh rumahnya tidak ada yang komplain ke saya, jadi harusnya kamu bersyukur cuman 2 jam perjalanan, lihat anak di pulau Papua berapa lama mereka jalan kaki,blablabla…”
Dari awal, Ahmad sudah menangkap jika alasan utamanya adalah efesiensi belaka, dimana 1 dosen dipaksa mengajar 3 kampus sekaligus di jam yang sama sehingga banyak yang jadi korban atas “langkah bisnis” berbalut kebijakan akademis ini. Sudah bukan rahasia umum jika dunia pendidikan jadi lahan bahas untuk mengeruk kekayaan sebanyak mungkin, ingatan kita masih segar mengenai Rektor Universitas Udayana, Profesor I Nyoman Gde Antara menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dengan total kerugian mencapai mencapai Rp443,9 miliar. Atau kasus sebelumnya Pada Agustus 2022 lalu, KPK menangkap Rektor Universitas Negeri Lampung Prof Dr Karomani karena diduga menerima suap sebesar Rp5 miliar dari program seleksi mandiri.
jika mau dibuka sudut pandangnya, mahasiswa seperti yang dijelaskan di awal, memang seharusnya berpikiran kritis dan selalu menanyakan sesuatu yang dirasa tidak sesuai terlepas sudut pandangnya sudah benar atau tidak, dosen harus memberi ruang diskusi, bukan hanya memberi tugas dan pergi. Kondisi “miris” wajah pendidikan seperti ini patut dibenahi, ya memang kadang banyak juga sih mahasiswa yang “ndableg” terlebih survei terbaru menunjukkan kemerosotan moral remaja jaman sekarang, namun hal itu tidak boleh jadi tameng untuk menggencet pikiran kritis dan debat akademis dibalik nama norma sopan santun dan budaya emoticon tangan telungkup. Ki Hajar Dewantara pun mungkin geleng-geleng melihat cara para dosen ini mengajar, menganggap mereka setara brahmana yang tidak boleh disangkal apalagi dikritik pemahamannya, serta tidak tau bedanya definisi teori dan hukum suatu ilmu, dan sekali lagi jangan salahkan muridnya, sebab tidak ada murid kencing berlari tanpa guru kencing berdiri.
Namun bisa jadi akar masalahnya bukan disitu, melainkan mindset yang salah, pendidikan kita sifatnya masih transaksional, kampus “membiaskan” tujuan pendidikan untuk modal cari kerja belaka, makanya menjalar hingga ke pikiran para sebagian besar tenaga pengajarnya, penulis ingat betul ketika dulu sekolah, seorang guru mengeluh di depan kelas jika bayarannya tidak seberapa maka dari itu jangan pada nakal dan bikin ulah. Disamping itu juga mindset yang kadang salah ada pada mahasiswa yang menempatkan dosen sebagai sosok yang diagungkan setara sinuwun di depan namun digunjingkan di belakang. Ah ntahlah apa mungkin karena kita dijajah saking lamanya hingga budaya Feodal dan perasaan inferior sudah jadi bagian dari DNA orang Indonesia?